Kamis, 11 Desember 2008

Cerpenku

Seperti game Bounce

Jam menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Di luar masih ramai kendaraan yang lalu lalang. Maklumlah, rumah Win hanya berjarak tiga belas meter dari jalan raya besar. Di kamarnya yang menjadi tempat ternyaman di dunia. Sambil memainkan permainan "Bounce" di komputer, Win dengan cekatan memainkan mouse, memindahkan bola warna-warni tersusun dan hancur supaya mendapatkan bonus poin yang banyak. Sudah beratus kali ia memainkan permainan itu. Sebenarnya, ia tidak sedang menikmati permainan tersebut. Malam itu ada sesuatu yang dipikirkannya.

Sepertinya permainan tersebut memberinya inspirasi. Untuk memecahkan masalah yang seringkali dijumpainya. Terkadang lagu lama dari kaset rusak pun masih terngiang di ingatan. Terlalu lama Win memendam rasa yang sebenarnya tidak ingin di ingatnya lagi.
Sejak peristiwa tadi sore memaksa perasaan itu datang lagi. Rasa benci yang teramat dalam. Bahkan lebih.

Mengapa selalu saja ada penilaian yang bukan-bukan?
Belum tentu apa yang dilihat, sama seperti yang disangka
Begitu sempitkah pikiran?
Atau semurni apakah hati seorang manusia menilai buruk seseorang
Dengan mudahnya?
Apakah ia juga tidak memiliki sifat buruk dari dalam dirinya?
Benar kata pepatah ”Gajah di pelupuk mata tidak terlihat,
Semut di ujung dunia sangat nampak”
Terlalu munafik untuk tidak mengakui kelemahan diri sendiri!!!

Permainan Bounce sebagai tempat pelampiasan Win yang sedang dirundung masalah. Anehnya, setiap memainkan permainan itu bila dalam kondisi tertekan, Win malah mendapat poin yang lebih dari biasa. Konsentrasi Win meningkat seiring masalah yang dihadapinya. Seakan menemukan pemecahan, ia tersenyum dan keheranan sendiri. Koq bisa ya? Padahal kalau dalam kondisi normal (tenang-tenang aja), mana mungkin ia dapat memainkan itu sampai level yang tinggi. Kadang pada tahap level tiga saja, Win sudah kewalahan dan game over.

Sayup-sayup alunan lagu Easy-nya Faith No More dari speaker kecil, membuat hatinya merasa tentram. Pikirannya kembali tenang.

Easy….easy like Sunday morning…

Benar juga, kenapa juga berat-berat memikirkan masalah yang telah terjadi, toh semua ada yang mengatur dan memang harus dijalani. Pasrah dengan keadaan tetapi tetap berusaha untuk memperbaikinya.

Sungai Ulin, 21/06/2007


Sebelah Mata

Malam begitu dingin mengigit. Suara jangkrik bersahutan merayakan pesta. Mata Maya belum mengantuk juga. Padahal dia menangis seharian tadi. Jarum jam dinding tertatih-tatih melewati pukul satu. Masih jelas teringat kejadian tadi siang. Ini sudah kesekian kalinya. Maya sudah tidak tahan. Ia tak habis pikir, melihat perlakuan ayah terhadap ibunya. Kejadian itu membuat Maya sangat terpukul. 

Awalnya keluarga Maya baik-baik saja, bahkan dibilang sangat harmonis. Tidak kurang suatu apapun dari segi materi dan kasih sayang. Ia sangat bahagia diberi kehidupan seperti itu. Dalam memilih pasanganpun ia memiliki harapan agar nanti kalau dia sudah punya pendamping, ia ingin seperti ayahnya. Sifat yang berwibawa, bijaksana, dan kelihatannya sangat menyayangi keluarga. Warisan kecantikan dan kelembutan ibunyapun menurun ke Maya. 

Maya merupakan anak bungsu, dari dua bersaudara. Kakaknya menikah dan tinggal ikut dengan suaminya. Jadilah Maya, anak kesayangan di rumah. Apapun yang diinginkan, Maya selalu mendapatkannya. Kecuali dalam urusan cinta, sampai sekarang ia belum mempunyai pacar. Bukan karena Maya tidak cantik, malah sebaliknya. Maya di mata laki-laki, dia sangat sempurna. Cantik, pintar, anggun, berkulit putih, dan badannya yang tinggi bak model. Dia sangat selektif sekali. Maya sangat terobsesi dengan sifat-sifat dari ayahnya. 

Sampai suatu ketika, kejadian itu menimpa keluarganya. Ia melihat ibunya terduduk lesu di kursi ruang tamu. Ia heran, kenapa ibunya sangat sedih. Baru kali ini, ia melihat gelagat yang tidak enak pada ibunya. Maya tidak tega melihat ibunya seperti itu.  

”Ibu kenapa?” tanya Maya ketika masuk ke rumah dan mendekati ibunya.
Ibunya terkejut, ia tidak ingin memperlihatkan kesedihan yang dialaminya. 
”Ah..tidak apa-apa. Ibu hanya pusing sedikit..” jawab ibunya, menyimpan rahasia.
”Bu...kalau ada apa-apa katakan saja.. Maya lihat, ibu nampaknya habis menangis” Maya penuh selidik.
“Tidak apa-apa May.. Sudahlah kamu, istirahat saja” jawab ibunya lagi.
”Terus ayah kemana Bu?” tanyaku lagi.
”Lagi keluar..” jawab ibu singkat.

Maya hanya menghela napas berat. Pikirnya, ada sesuatu yang aneh dengan ibu. Meski begitu Maya tidak ingin berpikiran yang macam-macam tentang ibunya. 
Maya mendapat tugas dari kampusnya untuk membantu program penyuluhan di desa tertinggal. Untuk waktu tiga minggu, ia harus tinggal di desa yang jauh dari kota. Mau tidak mau seorang mahasiswi jurusan keperawatan, harus terjun langsung untuk merasakan langsung kondisi yang nantinya akan ditempuh setelah lulus dari kuliah.

Selama tiga minggu, Maya berada di desa tersebut, ia memikirkan keluarganya. Ia takut kalau terjadi sesuatu yang kacau. Tidak biasanya dia memikirkan orangtuanya, terutama ibunya. Kata temannya, maklum anak bungsu selalu kangen orang tua.
Saat tiba di rumah, ia tidak sengaja mendengar pertengkaran hebat. Benda-benda di ruang tamu bersekan kemana-mana. Sampai ia melihat tangan ayahnya mendarat ke wajah ibunya.

Plaakkk..
”Ayah!!!” teriak Maya langsung memegang tangan ayahnya.
Melihat kejadian itu, Maya sakit hati dan langsung bertindak. Ayahnya tidak berbicara apa-apa dan langsung pergi. 
Maya melihat ibunya yang kesakitan. Terlihat bekas-bekas pukulan di wajah dan di bahu ibunya. Sontak Maya langsung memeluk ibunya. Mereka menangis berdua. Menangis dalam kedukaan.

Sambil mengobati, Maya menahan air matanya keluar. Ibunya sambil bercerita, dengan sakit yang ditahan. Ibunya mengaku kalau ayahnya tidak lagi seperti yang dulu. Ayahnya sekarang telah menjalin hubungan khusus dengan wanita lain. Ibunya juga heran, kenapa ayahnya berbuat seperti itu. Membayangkan saja takut. Alasan pergi ke kantor, ternyata menemui perempuan itu. 

Maya berpikir, apakah ayahnya sudah kena guna-guna orang? Maya takut memikirkan hal itu. Tidak gampang mengatasi masalah seperti ini. Ibunya sudah tidak tahan mengalami kejadian itu. 

Hari berikutnya Maya melihat banyak polisi di rumahnya. Ternyata ayahnya ditangkap polisi karena diduga terlibat kasus korupsi dan perselingkuhan. Maya hanya menarik napas yang berat dan perlahan air matanya tidak bisa dibendung. Inikah ayahnya yang selama ini dikaguminya? Selama ini Maya melihat kekaguman dengan sebelah mata hatinya. Maya jadi ingat beberapa tahun yang lalu, ketika ia ditanya oleh temannya yang memang dari lahir tidak memiliki ayah, ”Maya, menurutmu enak gak punya ayah??” pertanyaan polos itu telah menusuk ke dalam hatinya.

Sungai Ulin, Mei 2008

Tidak ada komentar: