Kamis, 11 Desember 2008

Kritik Sastra

Analisis Teori Dekonstruksi dalam Cerpen “Takut Mati” Karya Fira Basuki
oleh: mira-aching
Pada dasarnya kajian dekonstruksi mengacu pada teks. Tetapi struktur yang ada di dalam teks, tidak sepenuhnya dihiraukan. Dapat diartikan di sini, dalam memahami karya sastra boleh dari sisi mana saja, karena tak terikat struktur yang dulu lazim digunakan. Gagasan utama teks sering tidak digubris. Sebaliknya, memulai dari hal yang sepele, namun dalam teks sering terulang dan dijadikan atribut semata-mata. Dari sanalah, konsep-konsep yang semula tampak tersembunyi menjadi wacana kritis yang penuh gerak. 
Kajian dekonstruksi dapat diterapkan pada sebuah karya sastra, dalam hal ini cerpen “Takut Mati” karya Fira Basuki. Cerpen tersebut mengungkapkan perasaan seseorang yang takut akan kematian. Tokoh utama, Wulan, merasa tidak siap untuk mati. Pikiran-pikiran yang negatif tentang kematian selalu saja menghantui. Padahal, bila dikaji dalam masalah agama, tidak seorangpun yang tahu kapan manusia mati. Sudah hukum alam, apabila yang bernapas akan merasakan mati. Menurut Wulan, kematian adalah penderitaan yang menakutkan. Sampai-sampai hal-hal yang buruk terbawa di dalam mimpi. Ini dapat terlihat pada kutipan di bawah:

  Wulan melengung dan tidak bisa kembali tidur. Ia membalik-balikkan tubuhnya berusaha tidak mengingat mimpi itu. Namun mimpi itu terus saja terbayang, bahkan di pelupuk matanya sekarang ada kata mati. Ditelinganya terngiang-ngiang kata mati. Lalu, kata itu terpantul-pantul di dinding dan langit-langit kamar, tereja jelas: M-A-T-I. Wulan kian gelisah. Tak terasa, pagi datang dan Wulan kian dihinggapi rasa takut. (hlm. 50)

 Dari kutipan di atas dapat dilihat, kata mati merupakan sebuah bentuk yang sangat mempengaruhi pikiran seseorang. Pengaruh dari mimpi dapat merubah kehidupan seseorang, yang tadinya berubah menjadi 180 derajat. Sehingga munculah mitos-mitos yang dianggap mencerminkan keadaan sesungguhnya. Pada karya sastra dahulu, sangat tabu untuk menceritakan tentang kematian atau hal-hal yang dirasa tidak pantas. Karena itu adalah urusan Tuhan. Tetapi di sini menceritakan ketidaksiapan untuk menghadapi kematian. Hal itu secara jelas mempengaruhi setiap orang. 

  Katanya, keindahan di alam surgawi tiada bandingannya. Alam indah tak terucapkan, di mana kita menjadi muda kembali dan puas menikmati buah-buah ranum dan bunga bermekaran warna-warni, sungai-sungai yang mengalir di bawahnya, serta bidadara nan tampan dan bidadari cantik siap melayani. Namun, kebalikannnya, neraka adalah benar-benar tempat jahanam. Tempat penyiksaan tiada akhir. Dengan api dan segala senjata melukai. Wulan jadi merinding. (hlm. 52)

 Pada kutipan tersebut, cerita tentang kehidupan setelah alam dunia, memang benar adanya. Masing-masing agama telah mempercayai, bahwa segala tingkah laku yang baik di dunia akan mendapatkan balasannya di surga. Sebaliknya apa yang dikerjakan menyimpang dari kebaikan, akan di balas dan di masukkan ke dalam neraka. 
Dalam kajian dekonstruksi, teks sastra dipahami tidak hanya lewat struktur, melainkan melalui kode-kode lain di luar teks. Dalam kaitan ini, membaca karya sastra adalah kegiatan paradoksal. Maksudnya pembaca boleh menciptakan kembali dunia ciptaan, dunia rekaan, dan menjadikannya sesuatu yang akhirnya mudah dikenali. Hal yang aneh, menyimpang, dan mngejutkan dalam teks dinaturalisasikan dan dikembalikan ke dalam dunia yang mudah dikenali.
Setiap manusia memiliki sifat baik dan buruk, serta tidak lepas dari perbuatan dosa. Perjalanan hidup manusia, tidak selamanya bahagia. Pastilah ada halangan maupun rintangan. Akan tetapi, pengalaman hidup seseorang yang penuh dengan kesenangan bukanlah sesuatu hal yang abadi. Memiliki harta dan keluarga yang baik, belum tentu semuanya akan berjalan baik pula. Bisa jadi itu merupakan ujian yang mungkin tanpa disadari menjerumuskan diri sendiri pada perbuatan yang tidak terpuji. 

Namun, kebahagiaan bisa jadi bukan penyebab takut matinya. Wulan merenung. Satu kejadian juga bisa jadi titik awal semua fobia mati ini. Ia kembali teringat pada kejadian itu. Wulan pernah jatuh cinta lagi. Pada pria lain yang bukan suaminya. Pada teman sekerja suaminya, yang ternyata tidak mencintainya. Padahal Wulan sudah menyerahkan diri, diciumi setiap inci tubuhnya hingga lupa diri. Merasakan gairah seksual yang berapi-api. Setahun demikian, sebelum akhirnya Yuda –nama lelaki beristri itu- meninggalkannya demi perempuan lain lagi. ia sebagai tempat persinggahan. Habis manis sepah dibuang. (hlm. 54)
 
Dari pengalaman yang telah dilakukan tokoh tersebut, ada hal yang mungkin membuat dirinya merasa seperti muda lagi. Ia jatuh cinta, meskipun telah bersuami. Dalam kehidupan kenyataan, seseorang berselingkuh demi mencari sensasi dan berpetualang selain pasangan yang sah dan resmi. Di kota besar khususnya, ini merupakan gaya hidup yang hanya menawarkan kenikmatan semata.
Di samping itu, keharmonisan di dalam hubungan suami istri kurang terjaga. Adakala seorang pasangan yang tidak memiliki kelebihan, di luar sana seseorang memiliki kelebihan itu. Godaan semacam itulah yang mengakibatkan seseorang bisa jatuh dan terseret dalam arus perbuatan yang dilarang oleh agama. Ini dapat terlihat pada kutipan di bawah:

  Awalnya Wulan kecewa dan marah. Namun kemudian, Wulan justru merasa sangat berdosa. Menodai dirinya, menodai cinta keluarga. Suami dan anak dikhianati, demi gelora jiwa yang tak seberapa. Wulan takut mati sebagai istri yang tidak berbakti. Dijemput malaikat maut bertubuh raksasa, berwajah hitam legam yang beraksi. Roh ditarik paksa dan dibawa ke tempat sepi nan sunyi. Menjerit di alam kubur sendiri. Wulan tidak mau diadili di alam lain nanti. Wulan takut disiksa tak terperi. Ditusuk kanan dan kiri dengan belati abadi. Wajah Wulan tak lagi berseri-seri. Kata mati tidak sama lagi. (hlm. 54)
 
 Meski zaman sudah modern, kepercayaan tentang adanya kekuatan magis masih tetap dirasakan dan dipercayai. Seseorang yang imannya kurang, mungkin akan berkiblat dengan bantuan benda-benda atau makhluk-makhluk yang bisa melindungi dan memberi kekuatan. Sebenarnya, kepercayaan ini sangat bertentangan dengan agama dan nilai moral. Perbuatan tersebut bisa dikatakan syirik karena meminta bantuan selain kepada Tuhan. Begitu juga dengan tokoh Wulan yang ingin menghindari kematian dengan alat-alat bantuan dari paranormal atau dukun, seperti pada kutipan di bawah ini:
  Wulan datang menemui alamat yang dicari. Ia membeli alat pengusir mati. Menolak susuk karena katanya biar mati tua tetapi susah pergi. Cincin dan serbuk juga bisa hilang jika tidak menyimpannya teliti. Jadi Wulan memilih sabuk bermantra. (hlm. 54)

 Apapun yang direncanakan manusia, belum tentu semuanya akan terlaksana. Tuhan yang mempunyai kuasa atas seluruh alam. Begitupula dengan tubuh manusia, setiap saat bisa diambil kapan saja. Tanpa mengenal derajatnya, ilmunya, kekayaanya, dan lain sebagainya. Tuhan berkehendak, kita harus siap menerimanya. Meski dengan kecanggihan teknologi maupun kesaktian mandraguna, itu semua tidak berarti apa-apa. Maut menjemput tak seorangpun dapat menolaknya. Tercermin dalam kutipan di bawah ini:

 
Sampai di dalam, Wulan melihat Sinta berdiri lugu di dekat sebuah tubuh membujur mati. Ditutupi kain batik yang minggu lalu ia beli. Wulan berjalan pelan ke arah tubuh itu dan membuka penutupnya. Tubuh Wulan lemas. Tenaga dan semangatnya terempas. Ia seperti mati.
 Seno suaminya, si orang mati. Suaminya berwajah pucat pasi. Tak bernyawa. Benar-benar mati. Wulan teringat kata-kata si penjual sabuk ajimat, “Bernegosiasilah dengan mati, dan bisa dipindahkan….” Tuhan! Dipindahkan? Maksudnya…. Tapi, jangan suami! Jangan suami!
(hlm. 58)

 Karya sastra merupakan cermin dari realita kehidupan, tetapi tidak selalu sama apa yang ada dalam kenyataan. Karya sastra hanya menampilkan dulce et utility (kesenangan dan manfaat). Mekipun cerita fiktif, ada beberapa nilai yang patut diambil dan dijadikan gambaran dalam kehidupan nyata. Dikaitkan dengan konsep dekonstruksi, yang dikenalkan oleh Deridda bahwa teks selain senantiasa mencoba menghindari abstraksi dan pernyataan-pernyataan teoritik, juga banyak memberikan contoh-contoh dan pemaparan tentang apa yang dimaksud tanpa membawa pembaca pada formulasi yang tak ada barangnya. Membaca teks dan memahami seperti adanya mengulang contoh-contoh merupakan kesulitan tersendiri. Namun, siapapun yang memahaminya bisa segera memberikan contoh lain atau mengatakan padanannya tanpa kehilangan benang merah. 



Tidak ada komentar: